Rumah panggung berarsitektur kolonial dengan sentuhan arsitektur melayu lokal (baca: Bangunan Indis) yang berada di jalan Jendral Soedirman, Kelurahan Condong dibangun oleh pengusaha kaya raya yang dermawan berkebangsaan Belanda yang bernama Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha. Pada awal tahun 1889 Bosscha datang ke Singkawang dengan maksud melakukan survey lahan untuk perkebunan teh. Karena Singkawang pada saat itu masuk dalam teritorial Kesultanan Sambas, maka KAR Bosscha meminta ijin kepada Sultan Sambas Sultan Achmad Syaifudin untuk melakukan survei, sehingga diperoleh sebuah tempat di Puncak Lembang, Sanggau Ledo.
Karena jarak antara Puncak Lembang dan Sambas terlalu jauh, maka KAR Bosscha membangun sebuah rumah peristirahatan di Singkawang. Pada tahun yang sama KAR Bosscha menikah dengan penduduk lokal berdarah jawa yang bernama Janiah R. Soeripto. Hanya setahun KAR Bosscha berada di Singkawang karena usaha perkebunan teh yang berada di Jawa Barat memerlukan dirinya untuk melakukan pengembangan. Dibanding jika membuka lahan barunya di Kalimantan yang harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit akhirnya KAR Bosscha pun lebih fokus untuk menekuni usaha pengembangan perkebunan teh di daerah jawa. KAR Bosscha sempat kembali ke Singkawang pada tahun 1903 untuk menjemput anaknya agar melanjutkan pendidikannya di Jawa. KAR Bosscha meninggal di rumah peristirahatannya di Malabar, Jawa Barat pada tanggal 26 November 1928, tak lama setelah ia menyaksikan peresmian Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat. Hingga kini, Rumah Bosscha di Singkawang masih terawat dengan baik dan ditempati oleh keturunannya dari anak pertamanya yang bernama Noor Bosscha.